Keajaiban Ekonomi Jepang, Tokyo, Pertokoan mewah Distrik Ginza
“Yang memungkinkan penguasa yang bijak serta jenderal yang baik
untuk menyerang dan menguasai, dan mencapai semua hal
di luar kemampuan orang biasa,
adalah Mengetahui Lebih Banyak.”
Sun Tzu, “The Art of War”
Perang Dunia II telah selesai. Di mana-mana yang terlihat hanya puing-puing dan reruntuhan. Jepang dikuasai SCAP, pasukan pendudukan Sekutu yang dipimpin Jendral Amerika, Douglas McArthur. Ini adalah pertama kalinya tanah Jepang yang suci dikuasai bangsa lain. Pertama kalinya dalam sejarah, mereka harus tunduk kepada bangsa lain. Ekonomi Jepang hancur lebur. Pabrik-pabrik di pusat-pusat industri hanya separuhnya yang masih utuh. Hiroshima dan Nagasaki, rata dengan tanah.
Rakyat juga terancam kelaparan. Mereka tidak punya pekerjaan, tidak punya uang. Pabrik-pabrik tentu perlu waktu untuk dibangun kembali. Mereka juga perlu modal. Jepang pun sama sekali tidak punya kekayaan alam apa pun untuk dijual. Jika ini berlangsung terlalu lama, bangsa Jepang akan benar-benar hancur dan tidak akan mampu bangkit lagi. Namun, mereka menolak menyerah.
Para pemimpin Jepang, pemimpin pemerintah, industrialis, semua bangsa Jepang menolak menyerah. Mereka masih punya tenaga untuk membuat sesuatu, apa pun yang nantinya bisa dijual. Mungkin membuat sandal, payung, menjahit pakaian, atau apa pun. Mereka masih punya tanah untuk ditanami. Mereka masih punya otak, dan semangat untuk belajar.
Namun bangsa Jepang tidak belajar sedikit demi sedikit. Dulu, waktu Restorasi Meiji, mereka mulai dari nol. Mereka hanya punya semangat dan kemauan yang menyala-nyala dan mereka berhasil dengan gemilang. Sekarang, mereka mulai dari nol lagi. Dan, mereka ingin menjadi bangsa Superpower lagi!
Jepang mulai kembali melakukan proses pembelajaran besar-besaran. Tidak hanya di seluruh negeri, ribuan orang, ilmuwan dan industrialis berbondong-bondong ke Amerika dan Eropa untuk merebut segala ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru. Ribuan ilmuwan terbaik dari seluruh dunia, pakar teknologi maju, dan ahli-ahli pendidikan, didatangkan ke Jepang.
Banyak yang mereka dapatkan, seperti sistem Total Quality Management, yang tidak berkembang di Amerika karena dianggap terlalu rumit. Teknologi Transistor yang dikembangkan oleh Bell Labs, tapi nantinya malah dipopulerkan oleh radio transistor Sony, milik Akio Morita dan Masaru Ibuka. Begitu juga dengan teknologimesin Robot. Kehancuran Jepang, malah dimanfaatkan untuk mengganti semua mesin-mesin dengan teknologi yang terbaru, sementara Amerika sendiri malah masih memakai mesin-mesin lama!
Robot industrial pertamakali
dipatenkan oleh George Devol dari Amerika, tapi digunakan dalam skala industrial di dunia oleh Kawasaki Heavy Industries di Jepang
Bangsa Jepang adalah bangsa pembelajar terbaik di dunia. Mereka belajar seperti melakukan ibadah agama, yang dipraktikkan dengan semangat yang nyaris mencapai fanatisme. Mereka belajar dengan penuh semangat karena mereka paham betul kegunaannya. Pengetahuan yang unggul, intelektual, dan moral akan memberikan mereka kemajuan, kebahagiaan, dan Keunggulan. Keunggulan bagi bangsa Jepang.
Semua belajar dengan giat: pemerintah belajar, politisi, industrialis, para pekerja, kaum intelektual, anak-anak, ibu-ibu, semuanya belajar. Di Jepang dikenal istilah Joho shakai, "the information intelligence society", masyarakat cerdas dengan akses yang luas terhadap informasi. Belajar dan mencari ilmu adalah jiwa dari masyarakat Jepang.
Semangat belajar yang tinggi telah terbentuk sejak ratusan tahun. Sejak masuknya Konfusianisme menjadi dasar kepercayaan Jepang. Sejak para elite samurai mulai meninggalkan pedangnya dan mengajar di sekolah-sekolah, dan juga sejak Restorasi Meiji. Konfusianisme menekankan bahwa proses belajar akan memberikan kebahagiaan. Konfusius juga mengajari pengikutnya untuk banyak membaca. Melalui sistem pendidikan yang efektif, nilai-nilai ini tertanam kuat dalam masyarakat Jepang.
Jepang juga membangun sistem pendidikan terbaik di dunia. Nilai anak-anak Jepang dalam berbagai perlombaan sains dan matematika dunia selalu berada di urutan tertinggi. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan secara efektif, tetapi juga diperkuat karakternya. Mereka digembleng supaya memiliki disiplin yang tinggi.
Semua belajar dengan giat: pemerintah belajar, politisi, industrialis, para pekerja, kaum intelektual, anak-anak, ibu-ibu, semuanya belajar. Di Jepang dikenal istilah Joho shakai, "the information intelligence society", masyarakat cerdas dengan akses yang luas terhadap informasi. Belajar dan mencari ilmu adalah jiwa dari masyarakat Jepang.
Semangat belajar yang tinggi telah terbentuk sejak ratusan tahun. Sejak masuknya Konfusianisme menjadi dasar kepercayaan Jepang. Sejak para elite samurai mulai meninggalkan pedangnya dan mengajar di sekolah-sekolah, dan juga sejak Restorasi Meiji. Konfusianisme menekankan bahwa proses belajar akan memberikan kebahagiaan. Konfusius juga mengajari pengikutnya untuk banyak membaca. Melalui sistem pendidikan yang efektif, nilai-nilai ini tertanam kuat dalam masyarakat Jepang.
Jepang juga membangun sistem pendidikan terbaik di dunia. Nilai anak-anak Jepang dalam berbagai perlombaan sains dan matematika dunia selalu berada di urutan tertinggi. Mereka tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan secara efektif, tetapi juga diperkuat karakternya. Mereka digembleng supaya memiliki disiplin yang tinggi.
"Education, was a tool of the state to be used to turn out obedient, loyal, reliable subjects who could serve as the basis for the creation of a modern, powerful nation, second to none."
NICHOLAS HAIDUCEK, Japanese Education Made in USA.
NICHOLAS HAIDUCEK, Japanese Education Made in USA.
Di Jepang, dikenal jam belajar tambahan yang dinamakan "Juku". Di negara lain, jam tambahan digunakan untuk membantu anak-anak yang lambat daya tangkapnya. Di Jepang, juku digunakan semua anak untuk merebut ranking tertinggi. Jam tambahan ini bisa berlangsung dari jam 5 sore sampai jam 8, bahkan 9 malam, 3 kali seminggu. Persaingan di sana sangat keras.
Intensitas belajar anak-anak Jepang akan mencapai puncaknya menjelang ujian negara. Di sana, istilahnya cukup menggetarkan, Shiken jigoku, “Neraka Ujian”. Menjelang ujian, (dua - tiga bulan sebelumnya) anak-anak kecil yang umurnya masih 12 - 13 tahun, belajar sampai jauh tengah malam. Seringkali mereka hanya tidur tiga atau empat jam semalam untuk menguasai bahan-bahan ujian. Tidak ada istilah “sistem belajar semalam” di sini.
Para ibu juga sangat aktif mendorong anak-anaknya belajar. Mereka dikenal dengan "Kyoiku Mama", “Ibu Pendidikan”. Mereka akan meneliti kualitas sekolah yang akan dimasuki anak-anaknya. Mereka mempelajari bahan-bahan pelajaran anaknya, dan mendampingi mereka belajar. Setiap ibu sadar, satu-satunya cara mendapatkan hidup yang lebih baik, adalah dengan anaknya sukses di sekolah.
Mereka juga tidak akan ragu mengorbankan karier demi mendidik anak-anak mereka. Atau sebaliknya, mereka akan mengambil pekerjaan tambahan untuk membiayai kursus-kursus tambahan anaknya. Kyoiku Mama, adalah pembentuk paling awal keunggulan Bangsa Jepang.
Jepang juga mempunyai media pendidikan yang didukung penuhdengan dana yang besar dari pemerintah. Jam tayang televisi NHK hampir separuhnya berisi program-program pendidikan terbaik, baik untuk pelajar, petani, maupun manajemen perusahaan. Stasiun televisi lainnya juga diwajibkan untuk memiliki program pendidikan.
Radio juga tidak ketinggalan digunakan menyebarkan berbagai macam ilmu. Sejak tahun 50'-an banyak program-program radio yang juga mengajarkan teknik-teknik manajemen tercanggih, termasuk Total Quality Management yang baru diperkenalkan Dr. Deming. (Sistem ini bahkan baru populer di Amerika tahun 80'an!). Program-program media bermutu tinggi, memungkinkan penyebaran pengetahuan terbaik secara masif, menjangkau jutaan orang sekaligus, dan berbiaya sangat murah.
“For the Japanese, the statement that ‘knowledge is power’
is not just a pious truism.
It is a basic operating principle. Even when it serves no immediate purpose, the Japanese collect information with the compulsiveness of a magpie hoarding brightly colored objects.”
The Japanese Mind - The Goliath Explained
It is a basic operating principle. Even when it serves no immediate purpose, the Japanese collect information with the compulsiveness of a magpie hoarding brightly colored objects.”
The Japanese Mind - The Goliath Explained
ROBERT C. CHRISTOPHER
Membaca, adalah kegiatan paling digemari bangsa Jepang. Di rumah, di taman hijau, atau di kereta api orang-orang menyempatkan diri untuk membaca. Mereka membaca apa saja, dari komik hingga analisis industri, teknologi baru, sastra, atau sejarah dunia. Di Tokyo, ada toko buku bernama Taiseido yang tingginya delapan lantai, seluruhnya berisi buku, dan selalu dipenuhi orang layaknya supermarket. Toko-toko buku besar lainnya adalah Kinokuniya dan Maruzen.
Koran-koran besar Jepang, seperti Yomiuri Shimbun, Asahi, dan Mainichi bukan saja memiliki sirkulasi terbesar di dunia, tetapi jauh melampaui koran-koran Amerika. Koran terbesar Amerika, The New York Times beredar 1,5 juta eksemplar sehari. Yomiuri Shimbun memiliki sirkulasi per hari mencapai 14 juta eksemplar! Asahi per hari mencapai 12 juta. Koran-koran ini memberikan informasi yang sangat detail dan up to date dari bisnis, industri, teknologi, politik, dan tentu saja hiburan, jauh melebihi koran mana pun di dunia.
Masyarakat yang cerdas menghasilkan para pengusaha dan pekerja yang cerdas, dalam jumlah jutaan. Belajar juga adalah jiwa dari para pengusaha dan pekerja Jepang. Banyak pakar manajemen bicara tentang "learning organization", "smart corporation", dan sebagainya. Di Jepang, hal ini tidak diperbincangkan lagi karena sudah tertanam dalam jiwa mereka. Sejak era Meiji, pengusaha-pengusaha besar seperti Shibusawa Eichii atau Furukawa Ichibei sudah melakukan proses belajar dalam skala global. Ini diteruskan sampai masa modern sekarang. Akio Morita, Konosuke Matsushita, atau Toyota menyerap ilmu dan teknologi dari Amerika, bahkan lebih hebat dari orang Amerika sendiri.
Karakter para pekerja dan industrialisnya juga telah ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah. Sejak lulus, disiplin telah tertanam kuat. Kemampuan belajar dan menyerap teknologi juga telah ada di diri mereka. Kemampuan matematika yang tinggi, menghasilkan kemampuan problem solving yang juga tinggi. Mereka juga diajarkan nilai-nilai Konfusius untuk mengejar kesuksesan dan produktivitas, tapi tidak terpesona dengan "uang" dan "materi". Jadinya mereka selalu bersemangat meningkatkan kualitas produk dan perusahaan mereka, tapi tidak tergoda untuk menikmati keuntungan cepat. Mereka merasa tidak perlu menjadi serakah, dan lebih suka berinvestasi daripada menghambur-hamburkan uang. Ini berbeda dengan bisnis Amerika yang selalu ingin cepat untung.
Usaha mereka juga makin diperkuat oleh MITI (sekarang METI).Organisasi ini sangat aktif mengumpulkan berbagai data potensi pasar, penemuan teknologi dan paten terbaru di seluruh dunia, menganalisis semua informasi ini, lalu memformulasikan kebijakan yang tajam untuk mendorong dunia usaha, dan memastikan implementasinya di perusahaan-perusahaan Jepang. MITI menjadiorganisasi intelijen informasi ekonomi dan bisnis terbaik di dunia. Semua ini menghasilkan keunggulan industri dan ekonomi Jepang secara umum.
"They (industri Jepang) often had a strong nationalistic enthusiasm as well as scientific curiosity, and pursued technological catch-up with fervor (semangat yang besar)...
A new technology can be fully assimilated only when sufficient capabilities have been developed. Japan was fortunate because when it started the development effort, it already had certain technological capabilities, partly as legacy of indigenous technology and partly as a product of education."
A new technology can be fully assimilated only when sufficient capabilities have been developed. Japan was fortunate because when it started the development effort, it already had certain technological capabilities, partly as legacy of indigenous technology and partly as a product of education."
"Technology and Industrial Development in Japan, Building
Capabilities by Learning, Innovation, and Public Policy",
HIROYUKI ODAGIRI, AKIRA GOTO.
Capabilities by Learning, Innovation, and Public Policy",
HIROYUKI ODAGIRI, AKIRA GOTO.
Falsafah manajemen Jepang yang terkenal, Kaizen, intinya juga adalah proses belajar. Proses belajar sistem manajemen dan teknologi yang menghasilkan perbaikan terus-menerus, kontinual, dan melibatkan semua orang, mulai dari pemilik perusahaan, manajer, hingga seluruh karyawan.
Jepang adalah sebuah organisasi belajar yang sangat besar, intens, dan sistematis. Jepang telah menunjukkan kecepatannya dalam menyerap dan mengembangkan ilmu dan teknologi. Mereka juga dengan jelas memperlihatkan, bahwa dalam memajukan ekonomi hanya ada satu faktor yang paling berpengaruh, yakni sumber daya manusia berkualitas tinggi. Bahwa negara yang memiliki manusia yang unggul akan dengan mudah mengalahkan negara yang alamnya paling kaya sekalipun.
TIMELINE :
Jepang adalah sebuah organisasi belajar yang sangat besar, intens, dan sistematis. Jepang telah menunjukkan kecepatannya dalam menyerap dan mengembangkan ilmu dan teknologi. Mereka juga dengan jelas memperlihatkan, bahwa dalam memajukan ekonomi hanya ada satu faktor yang paling berpengaruh, yakni sumber daya manusia berkualitas tinggi. Bahwa negara yang memiliki manusia yang unggul akan dengan mudah mengalahkan negara yang alamnya paling kaya sekalipun.
TIMELINE :
1950. Produk-produk Jepang sudah mulai kembali memasuki Amerika. Awalnya terutama adalah produk yang paling mudah dan murah dibuat di negara berkembang, Tekstil.
1960. Produk-produk Jepang, yang saat itu masih dianggap barang murahan, sudah membanjiri pasar Amerika. Dari Sony, Toyota, Seiko, Hitachi, Fuji, Toshiba, dan banyak lainnya.
“Ekspor awal mobil Jepang ke Amerika pasca Perang Dunia II benar-benar ‘rangkaian bencana’. Salahsatu mobil Toyota yang diekspor itu tidak bisa menanjak ke ruang pamernya yang ada diatas bukit. Dan walau semua perhitungan ekonomi menyatakan mereka akan gagal, orang-orang Jepang yang keras kepala itu tetap tidak mau menyerah!”
“Ekspor awal mobil Jepang ke Amerika pasca Perang Dunia II benar-benar ‘rangkaian bencana’. Salahsatu mobil Toyota yang diekspor itu tidak bisa menanjak ke ruang pamernya yang ada diatas bukit. Dan walau semua perhitungan ekonomi menyatakan mereka akan gagal, orang-orang Jepang yang keras kepala itu tetap tidak mau menyerah!”
Frank Gibney, “Miracle By Design”
1970. Produk-produk Jepang mulai merebut pasar Amerika, terutama Toyota, Honda, dan Sony. 1972, Televisi Sony Trinitron mendapat "Emmy Award" dari Akademi Nasional Seni dan Sains Televisi Amerika karena kecemerlangan warnanya yang tinggi.
1980. Ekonomi Amerika, terutama industri otomotifnya nyaris hancur lebur diserbu mobil Jepang yang jauh lebih ekonomis, irit bahan bakar, lebih bagus kualitasnya. Pasar Amerika dikuasai Honda Accord dan Toyota Corolla. Ford, General Motor, dan Chrysler, nyaris bangkrut dan pemerintah Amerika harus mati-matian membantu mereka. Amerika menuduh Jepang melakukan "dumping".
0 comments: